Cinta, pada awalnya kamu hanyalah sabda. Obsesi tak bernama dari
seorang gadis muda yang banyak gaya. Perjalanan kita dimulai dari setiap
aliran darah di dalam kepala, lalu ia bertransformasi, siang jadi
khayal, malam jadi mimpi. Menjadi bunga yang merekah luar biasa indah,
hingga seluruh inderaku rela tertidur terus demi mimpi yang tak putus.
Tak pernah kubayangkan, Cinta, akan kutemukan kamu ada nyata. Sungguh
tak pernah kuduga walaupun aku selalu menanti. Aku bahagia, Cinta,
hanya bisa mengenalmu. Hati kecilku pun tahu, aku tak seharusnya
menikmati keadaan ini. Pikiranku juga tahu, aku pantas dapat yang lebih
baik dari itu. Sesuatu yang tak akan pernah bisa kudapat darimu.
Dalam hidup ini ada dua jenis manusia yang kita temui: mereka yang
akan tinggal dan mereka yang akan pergi. Jalan kita telah bersinggungan.
Tapi rupanya ini bukan akhir dari persimpangan. Masih kucoba untuk
mengerti, mengapa harus kamu orang yang ditakdirkan untuk pergi
melanjutkan perjalananmu sendiri sampai kau temui orang lain lagi,
persimpangan lain lagi.
Aku bosan berjalan dan lari. Sendiri. Kamu juga sendiri. Lalu buat
apa kamu harus pergi? Bukankah perjalanan ini telah begitu melelahkan
bagimu dan bagiku?
Aku ingin tinggal di sini, Cinta, mendirikan kemah di padangmu, tanah
terjanji yang kucari bertahun-tahun lamanya. Yang hijau rumputnya dan
bening sungainya. Kanaan yang selalu kuimpikan.
Adakah kamu tahu, setiap kali aku mengingatmu rasa itu terus
membuncah dalam diriku. Rasa yang berubah menjadi sebutir embuh ringkih.
Kukunci rapat-rapat dalam sebuah kotak kaca, agar kamu hanya bisa
melihatnya saja. Aku takut, kalau nanti dibuka kamu akan memecahkannya.
Kalau memang tak bisa memilikimu, Cinta, izinkan aku mencintai
diam-diam saja. Tak akan kudirikan kemah yang megah di Kanaan, cukup
bersembunyi di balik pepohonan, mendamba padang berumput hijau dan
sungai berair bening dari kejauhan. Ketika nanti musim berganti, padang
itu tertutup salju dan sungai itu membeku, cari aku di balik pohon itu.
Masih ada tempat untukmu.